Bengkulu tidak terlepas dari nama besar Bung Karno yang dikenal sebagai Proklamator dan Presiden RI yang pertama dan juga seorang tokoh Perintis dan pejuang Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Beliau adalah seorang pejuang yang gigih, tangguh dan penentang sistim kapitalisme, imprialisme dan feodalisme. Sebagai tokoh perintis kemerdekaan Indonesia, sikap pikiran dan tindakannya selalu untuk kepentingan bangsa dan tanah air. Hal tersebut terbukti dari pidato – pidato yang disampaikan di depan khalayak ramai dan tulisan – tulisannya pada surat kabar dan majalah – majalah.Karena sikap dan tindakannya, Bung Karno dianggap merugikan bahkan membahayakan bagi pemerintah kolonial Belanda yang berkuasa waktu itu, maka Bung Karno dipanggil, diperiksa, ditahan, diadili, dipenjarakan serta diasingkan keluar pulau Jawa.
Baca juga:Masjid Jamik Arsitektur Bung Karno
Setelah keluar masuk penjara akibat kegiatan politiknya, pemerintah Hindia Belanda mengambil sikap yang lebih keras dalam mengucilkan pemimpin rakyat ini dari masyarakat. Pada masa Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jhr De Jonge, seorang konservatif yang tidak mau berkompromi dengan pergerakan nasional. Pada tanggal 31 Agustus 1931, setelah selesai rapat di rumah Muhammad Husni Thamrin di Batavia (Jakarta), Bung karno kembali ditangkap, langsung ditahan dan dijebloskan kembali di Penjara Sukamiskin Bandung. Kemudian Gubernur Jenderal De Jonge menggunakan hak luar biasanya dengan mengasingkan Bung Karno ke Ende – pulau Flores. Bung Karno diasingkan dengan membawa istrinya ibu Inggit Garnasih dan seorang anak angkatnya Ratna Djuami, serta Ibu mertuanya yang kemudian meninggal di tempat pengasingan tersebut.
Pada bulan Januari 1938, NIROM (Nederlands Indische Radio Omrup) – Radio Hindia Belanda menyiarkan berita bahwa Bung Karno akan dipindahkan dari Ende ke Bengkulu.
Kabar tersebut merupakan berita besar bagi kaum Pergerakan Indonesia pada umumnya dan khususnya kaum Pergerakan di Bengkulu.
Pada ruang tamu Rumah Pengasingan Bung Karno, terdapat seperangkat meja dan kursi dari kayu yang pernah dipergunakan oleh Bung Karno dan Keluarga semasa pengasingan di Bengkulu tahun 1938-1942. Meja dan Kursi tersebut berbahan dasar kayu dengan kualitas baik dan rotan. Kondisi Meja dan Kursi – kursi tersebut masih terawat dengan baik tapi guna pelestarian benda – benda tersebut tidak boleh digunakan oleh Pengunjung yang berkunjung di Rumah Pengasingan Bung Karno.Berbagai Koleksi Foto pada Bagian dinding Ruang Tamu.
Bung Karno bersama teman – teman seperjuangannya dan masyakat Bengkulu pada tahun 1938. Terlihat Bung Karno menggunakan stelan jas berwarna putih, berdasi hitam dan sedang memegang topi di kedua tangannya. Kedatangan Bung Karno di Bengkulu sebagai tawanan pemerintah Hindia Belanda disambut oleh teman – teman tokoh pergerakan dan masyarakat Bengkulu.Bung Karno Bersama Ibu Inggit Garnasi dan teman – teman seperjuangannya.
Menurut Juru Pelihara Rumah Pengasingan Bung Karno, selama pengasingan di Bengkulu, Bung Karno punya sahabat dekat, di antaranya bernama Abdul Manaf. Dirumah sahabatnya inilah awalnya buku-buku itu dititipkan dan disimpan sebelum Bung Karno dipindahkan ke Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Baru pada 1985 koleksi buku ini dipindahkan dan dipajang di tempatnya sekarang.Berdasarkan daftar yang ada, dari buku-buku yang masih tersisa, koleksi tertua yang masih ada berjudul Lagrimas, een engelop earde, karya penulis Meksiko, Caecilia Bohl de Faber, diterbitkan pada 1864. Koleksi termuda adalah buku berjudul De weg de vraou en het Huis, ditulis D.J, Van der Laan dan diterbitkan pada 1948.Di luar koleksi buku tertua dan termuda, terselip juga beberapa buku berkualitas pada zamannya, seperti Tel-aviv: Palestina – Roman, yang ditulis A. Wissotzky, diterbitkan pada 1934, Het nederland van nu karya E. Krui Singa (terbitan 1938).Ruang ini gunakan oleh tamu – tamu Bung Karno yang merupakan teman seperjuangan Bung Karno. Pada ruangan ini juga diisi dengan berbagai benda koleksi diantaranya Kostum Perkumpulan Sandiwara Monte Carlo,Monte Carlo yaitu sebuah perkupulan sandiwara dibawah asuhan Bung Karno dan Ibu Inggit Garnasih selama pengasingan mereka di Bengkulu.Tak diketahui secara pasti kapan tepatnya, Bung Karno menjadi pemimpin Monte Carlo. Tetapi, paling tidak pada bulan ketika Bung Karno sudah mulai menulis naskah Dr. Sjaitan. Pada naskah Dr. Sjaitan tercantum kolofonnya, yaitu tanggal 24 Desember 1938. Artinya, Bung Karno terlibat secara aktif dalam sandiwara Toneel Monte Carlo – bisa jadi sudah menjadi pucuk pimpinannya. Bung Karno mempunyai pengaruh yang besar dikalangan para seniman di Bengkulu waktu itu. Anggota Perkumpulan Sandiwara Monte Carlo merupakan golongan para pemuda yang tinggal di Bengkulu.Bung Karno merasa perlu mendekati para anak muda yang tergabung dalam kelompok musik orkestra Monte Carlo itu. Melalui media tersebut Bung Karno menyampaikanpesan – pesan pembelajaran dan motivasi semangat kepada para pemuda untuk menumbuhkan serta membangkitkan kecintaannya kepada tanah air.
Menanamkan semangat patriotik, sebagaimana semangat dan kobaran jiwa nasionalisme Bung Karno yang tak pernah padam walaupun dalam pengasingan. Meski segala gerak-gerik dan sepak terjang Bung Karno tak pernah lepas dari pengawasan semacam polisi intel Pemerintah Belanda yang ditugaskan untuk mengawasi apa saja kegiatan Bung Karno di Bengkulu.semasa pengasingannya di Bengkulu (1938 – 1942), Bung Karno juga menulis beberapa naskah untuk pementasan, antara lain : Rainbow (Poetri Kentjana Boelan); Hantoe Goenoeng Boengkoek; Si Ketjil (Klein’duimpje); dan Chungking Djakarta.
K.H. Mas Mansyur merupakan salah satu sahabat dan kawan seperjuangan Bung Karno yang, Mas Mansur lahir pada hari Kamis tanggal 25 Juni 1896 di Surabaya, adalah ketika Mas Mansur menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah pada tahun 1937-1943. Pada tanggal 5 April 1941 Soekarno disaat diasingkan di Bengkulu terjadi pertemuan dengan K.H. Mas Mansyur dimana saat itu Mas Mansyur yang menjabat sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Mas Mansur dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 di Yogyakarta pada bulan Oktober 1937. Di tengah pecahnya perang kemerdekaan yang berkecamuk, Mas Mansur meninggal di tahanan pada tanggal 25 April 1946. Jenazahnya dimakamkan di Gipo Surabaya.Atas jasa-jasanya, oleh Pemerintah Republik Indonesia ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional.Abdul Karim (Oei Tjeng Hien) adalah perintis ajaran Islam dari etnis Tionghoa Indonesia yang juga salah satu tokoh Muhammadiyah. Karim Oei juga merupakan salah satu tokoh nasional yang memperjuangkan Kemerdekaan Indonesia bersama dengan Soekarno dan Buya Hamka.Karim Oei dilahirkan di Padang Panjang,Sumatera Barat,pada 6 Juni 1905 dengan nama asli Oei Tjeng Hien. Pada tahun 1926, Karim Oei mulai menjadi pemeluk agama Islam yang saat itu sangat jarang dilakukan oleh warga Tionghoa.Haji Abdulkarim Oei Tjeng Hien adalah kawan lamanya Bung Karno ketika sama-sama dengan duduk dalam Persyarikatan Islam (PERSIS) di Bandung, dia juga sebagai salah seorang pionir keturunan Tionghoa yang aktif dalam upaya pembauran. Hal ini dia buktikan dengan kesadarannya menjadi warganegara Indonesia yang otomatis harus keluar dari hidup menyendiri di lingkungan etniknya.
Dalam pengasingannya di Bengkulu Bung Karno bertemu kawan lamanya Oie Tjeng Hien. Hien di Bengkulu yang semula membuka usahanya di daerah Bintuhan Kaur, kemudian diajak oleh Bung Karno untuk pindah ke kota Bengkulu. Hien akhirnya memenuhiajakan Bung Karno dan kemudian membuka usaha meubelnya di Suka Merindu bersama dengan Bung Karno sebagai arsiteknya.
Haji Abdul Karim Oei adalah tokoh yang pada 1938 pernah menjadi Ketua Muhammadiyah BengkuluKarim Oei meninggal dunia pada 14 Oktober 1988 di usia 83 tahun. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman umum tanah kusir, Jakarta.Prof.Dr.Haji Abdul Malik Karim Amrullah bin Abdul Karim Amrullah bin Syeikh Muhammad Amrullah bin Tuanku Abdullah Saleh bin Tuanku Syeikh Pariaman atau lebih dikenal dengan julukan Hamka, yakni singkatan namanya, (lahir di Sungai Batang, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 17 Februari1908 – meninggal di Jakarta, 24 Juli1981 pada umur 73 tahun) adalah sastrawanIndonesia, sekaligus ulama, ahli filsafat, dan aktivis politik.Moment pertama, awal pertemuan Bung karno dan Buya Hamka pada tahun 1941. Atas ajakan salah seorang sahabatnya yaitu H. Abdul Karim (Oei Tjeng Hien), Konsul Muhammadiyah Bengkulu. Buya Hamka menemui Ir. Soekarno di tempatpengasingannya di Bengkulu. Inilah awal mula jalinan persahabatan kedua tokoh tersebut.
Setelah Indonesia Merdeka Buya Hamka juga pernah dipenjara pada 1964-1966 atas perintah Presiden Soekarno. Buya Hamka ditahan tanpa persidangan atas tuduhan yang mengada-ada. Buya Hamka dituduh melanggar Undang-Undang anti Subversif Pempres No. 11, yaitu merencanakan pembunuhan kepada presiden. Walaupun pernah dipenjarakan oleh sahabatnya tetapi Beliau sama sekali tidak ada dendam di hatinya.
Hal itu dapat dilihat dari sikap Buya Hamka saat orang yang pernah memenjarakannya tersebut meninggal dunia dan diadiminta untuk menjadi imam shalat jenazah, Buya menjadi imam shalat jenazah Soekarno, 1970. Saat meninggal, Soekarno berpesan, “Bila Aku mati kelak, minta kesedian Hamka untuk menjadi imam shalat jenazahku.” Ketika pesan tersebut disampaikan kepada Buya, tanpa berpikir panjang beliau langsung mengiyakan.Ir.Soekarno bersama Abdul Manaf seorang Agen Panji Islam dan Al-Manaar di Bengkulu tahun 1940 serta foto beliau bersama rekan dan kerabat. Sebagai penyuplai buku – buku Bung Karno secara diam – diam.AM Hanafi, tokoh penting dalam jagat revolusi Indonesia. Nama ini muncul tahun 1937, tahun kedatangan Bung Karno di Bengkulu, bumi pembuangan pasca Ende. Dua huruf AM di depan nama Hanafi adalah pemberian Bung Karno, sebagai kependekan dari Anak Marhaen. Nama itu kemudian diabadikan oleh si empunya nama menjadi Anak Marhaen Hanafi, atau AM Hanafi.
Bung Karno dan Ibu Inggit Garnasih, Inggit Garnasihbenar-benar menjadi orang yang setia disamping Soekarno dalam perjuangan beliau untuk mewujudkan impiannya. Diarela menemani Soekarno dalam masa-masa tersulit perjuangan beliau. Bahkan ketika Soekarno telah putusasa dan kehilanganjalur dalam perjuangannya, Inggitlah yang selalu berusaha mengingatkan dan menyemangat.Ketika Soekarno ditahan di Penjara dan dibuangke Ende (Flores) sertake Bengkulu, Inggit Garnasih setia tetap disampingnya.
Sebelum Soekarno dan Inggit Garnasih dibuang ke Ende, Flores, maupun Bengkulu, tanah dan rumah itu mempunyai andil besar mewarnai perjalanan perjuangan Soekarno sebagai Bapak Bangsa dan sebagai tempat bertemunya Soekarno dengan kawan-kawan seperjuangannya berdiskusi untuk mencapai Indonesia Merdeka.
Inggit Garnasih lahir di tatar Sunda Bumi Parahyangan tepatnya di Desa Kamasan, Banjaran, Kabupaten Bandung, 17 Februari 1888 dari pasangan Bapak Ardipan dan Ibu Amsi. Nama itu diberikan dengan penuh makna dan harapan, kelak menjadi anak yang tegar, segar, menghidupkan dan penuh kasih sayang.
Tanggal 24 Maret 1923, Inggit dan Soekarno menikah. Dalam surat nikah dicantumkan usia Soekarno yang baru 22 tahun itu menjadi 24 tahun, sedangkan usia Inggit diturunkan satu tahun menjadi 35 tahun.
Ngkus, itulah panggilan sayang Inggit pada Soekarno. Baginya, Soekarno adalah suami, guru, mitra perjuangan sekaligus kekasih. Begitupun sebaliknya bagi Soekarno, Inggit adalah istri, mitra dalam berjuang, kekasih dan sekaligus merupakan sosok ‘ibu’ yang memberikan air kehidupan penyejuk jiwa. Kondisi inilah yang menjadi jiwa Soekarno tetap kokoh dan semangat menjalani suka duka dalam perjuangan. Inggit meninggal dunia pada tanggal 13 April 1984 pada usia 96 tahun, dan dimakamkan di Pemakaman Umum PORIB, tepatnya di Jalan Makam Caringin – Kopo Bandung.
Di Rumah ini ada dua kamar tidur utama. Kamar di sebelah kanan adalah kamar tidur Bung Karno dan Ibu Inggit Garnasih. Sementara yang kiri adalah kamar tidur anak angkat Bung Karno, yaitu Ratna Djuami dan Sukarti (yang kemudian diubah menjadi Kartika).Ratna Djuami lahir di Bandung pada 4 Mei 1923 dari pasangan Sumarta dan Murtasih. Murtasih adalah kakak dari Ibu Inggit Garnasih.Ratna Djumani diangkat anak oleh pasangan Sukarno-Inggit semenjak berusia anak-anak. Ratna sempat mengikuti masa pembuangan Soekarno baik di Ende Flores hingga Bengkulu.
Omi –begitu ia dipanggil– sudah ikut Bung Karno sejak dalam pembuangan di Ende, bersama Inggit (tante yang jadi ibu angkat) nenek Amsi (ibunda Inggit yang juga nenek Omi). Di Ende pula ia merasakan duka kehilangan nenek Amsi yang wafat dan dimakamkan di sana pada tanggal 12 Oktober 1935. Kemudian, ketika pemerintah kolonial Belanda memindahkan tempat pembuangan dari Ende ke Bengkulen (Bengkulu), Omi ikut serta.
Ratna Djumani, anak angkat Bung Karno-Inggit Ganarsih meninggal Ahad 23/6 tahun 2013 sekitar pukul 03.00 WIB dalam usia 90 tahun. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman Caringin, Bandung.Bung Karno dan Inggit mempunyai seorang anak angkat selain Ratna Djuami,belakangan mereka mengangkat satu anak lagi bernama Sukarti yang diganti Soekarno menjadi Kartika. Kemanapun Bung Karno dibuang oleh Belanda, Inggit dan Ratna ikut menemani, termasuk ke Bengkulu. Sukarti atau Kartika memang “diangkat” di Ende. Dia adalah putri sulung keluarga Atmo Sudirdjo, seorang juru ukur yang bekerja pada dinas pekerjaan umum pemerintahan Kolonial Belanda. Atmo sendiri asli Purwokerto.Pertemuan pertama kali Sukarti atau Kartika itu sendiri terjadi tahun 1934, saat usianya baru menginjak enam tahun. Ia diajak serta oleh kedua orangtuanya, menuju pelabuhan untuk menjemput tokoh besar yang namanya sudah begitu semerbak di seantero Hindia Belanda sebagai pejuang kemerdekaan.